Dream Template

PETA DAN ANCAMAN KONFLIK DI INDONESIA

Dicatat oleh arlisbest Khamis, 1 Ogos 2013


1
PETA DAN ANCAMAN KONFLIK DI INDONESIA
Kajian Pengembangan Mata Diklat Resolusi Konflik
Pada Diklat Kepemimpinan Tingkat IV dan III
Oleh: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si
Abstrak
Masyarakat dihadapkan dengan pluralisme budaya, namun perbedaan itu masih
menjadi beban dan bukan kekuatan. Hal itu terjadi terutama terutama karena
menyebarnya hasrat elit dan pemimpin politik untuk mempertahankan kekuasaan. Para
pemimpin dan elit politik justru suka membangun identitas sebagai penanda sekaligus
pembeda, seraya menumbuhkan kebencian terhadap kelompok yang memiliki identitas
lain. Perbedaan kemudian diartikan sebagai ancaman dan rasa tidak aman bagi yang
lain. Bagi pemegang identitas kultural dan ideologis mayoritas atau yang memperoleh
back up elit dominan, mereka berambisi mempertahankan posisinya dan tidak segan
bertindak diskriminatif dan bahkan acapkali memilih kekerasan. Setidaknya cenderung
memilih prosedur non-konvensional, seperti mengerahkan massa dalam
menyelesaikan masalah. Cara menyelesaikan masalah sesuai prosedur yang disepakati
dikesampingkan. Sumber-sumber konflik dan kekerasan, terutama konflik dan
kekerasan yang bersumber dari struktur sosial dan ekonomi juga belum terbenahi.
Justru deprivasi sosial melebar. Masyarakat yang semula hanya mengalami deprivasi
relatif, justru berubah mengidap deprivasi progresif. Sebenarnya konflik di Indonesia
bisa dijadikan sebagai sejarah masa lalu jika masyarakat dapat dihindarkan dari
deprivasi sosial dengan menghapus struktur deprivative.
 
Keywords:  pluralisme budaya; hasrat elit; identitas kultural dan ideologis; deprivasi
relatif; deprivasi progresive; struktur deprivative.
I. Pendahuluan
a. Latar Belakang Masalah
Konflik rupanya belum merupakan masa lalu bagi masyarakat Indonesia. Ke depan
kawasan yang berpenduduk lebih 200 juta ini masih berpeluang untuk mendapat suguhan
konflik dengan berbagai intensitas yang beragam yang dipicu oleh berbagai alasan, apakah
ras, bahasa, agama dan berbagai perbedaan budaya masyarakat. Belum ada yang dapat
memberi jaminan bahwa sejumlah konflik yang selama ini berlangsung dengan cara-cara
anarkis akan bisa diakhiri, ditutup, dan dijadikan sebagai sejarah masa lalu. Konflik yang
bercorak vertical maupun horisontal masih merupakan ancaman. Masalahnya, selama ini
belum ada perubahan struktural maupun kultural yang signifikan dan memiliki dampak
positif dalam pembentukan kohesi sosial.
Adalah Jonathan Swift seorang penulis dan satiris, menggambarkan sosok manusia
dalam pandangan yang sangat sinis. Ia menggambarkan manusia sebagai “the most
pernicious race of odious vermin that nature ever suffered to crawl upon the surface of the
earth,”  ras dari kumpulan hama najis yang paling merusak yang penuh dengan
penderitaan yang melata di atas permukaan bumi." Pandangan sinis itu muncul setelah ia
melihat begitu banyaknya konflik yang memenuhi peta dunia dengan beberapa tindakan 2
biadab yang dilakukan manusia terhadap yang lain (baik di Bosnia, Irlandia Utara,
Rwanda, atau sejumlah negara lain). Konflik-konflik itu didasarkan pada berbagai alasan,
seperti ras, perbedaan agama (misalnya, Irlandia Utara, sebagian besar dari bekas
Yugoslavia), pada bahasa (misalnya, Belgia), atau pada berbagai kombinasi. Keragaman
fenomena penyebab  potensial bagi lahirnya konflik antarkelompok itu termasuk
prasangka, ketidakadilan, pelestarian diskriminasi, ketidaksetaraan, penindasan,
pembersihan etnis, dan genosida.
b. Rumusan Masalah
1) Bagaimana peta dan ancaman konflik di Indonesia?
2) Apa penyebab utama terjadinya konflik di Indonesia?
3) Bagaimana cara menjadikan konflik sesama warga dijadikan masa lalu oleh
banagsa Indonesia?
c. Tujuan Penulisan
1) Memahami peta dan ancaman konflik di Indonesia.
2) Mendeskripsikan penyebab utama terjadinya konflik di Indonesia.
3) Mendeskripsikan upaya menjadikan konflik sesama warga dijadikan masa lalu
oleh banagsa Indonesia.
II. Penyebab Konflik di Indonesia
a. Demonstration effect
Kecenderungan struktur masyarakat belum menopang upaya pengembangan kohesi
dan integrasi sosial. Jumlah masyarakat yang miskin dan mengalami deprivasi ekonomi
kian meningkat. Keinginan mereka semakin kuat untuk dapat ikut menikmati kehidupan
berkecukupan. Keinginan itu tumbuh sejalan dengan gaya hidup berkecukupan (affluent
style ) yang diperlihatkan sejumput elit ekonomi politik yang memerintah maupun yang
bukan memerintah secara demonstratif. Sementara mereka tidak cukup memiliki
kemampuan mengakses sumber-sumber perubahan ekonomi dan politik. Mereka hanya
bisa menonton sedikit orang,  mendemonstrasikan affluent style yang di antara mereka
memperolehnya dari cara kerja ’yang tidak jelas’ tapi ’berpendapatan jelas.’
Struktur yang mengundang munculnya deprivasi relatif seperti itu, dalam banyak
penelitian membuktikan sebagai penyebab yang efektif bagi lahirnya konflik, perpecahan,
disintegrasi dan bahkan kekerasan (Galtung, 1999:43). Seberapa bagusnya kultur dan
ideologis masyarakat, jika struktur deprivatif dan eksploitatif terus berlangsung akan sulit
menyelesaikan konflik dan membangun kohesi sosial. Padahal selama ini dilihat secara
kultural masyarakat masih secara aktif mereproduksi simbol-simbol kultural dan ideologis
namun berpotensi konflik. Masyarakat melakukan pembentukan identitas kultural dan
penyeragaman secara internal kelompok, seraya menganggap identitas kultural dan
ideologis kelompok lain dengan prejudice atau bahkan sebagai ancaman.
Seharusnya perbedaan kultural bisa menjadi kekayaan. Namun faktanya perbedaan
cenderung berubah menjadi beban. Masalahnya, identitas kultural dibangun bukan untuk
memperkokoh ikatan komunal melainkan fanatisme kelompok, seraya ditanamkan asumsi
kelompok lain sebagai unchoosen people. Pandangan seperti ini sangat mudah
dimanipulasi menjadi kekuatan konflik. Pihak-pihak tak bertanggung jawab, elit ekonomi
yang punya uang dan elit politik yang punya kekuasaan, tapi bermental primitive bisa
mengeksploitasi pandangan prejudice itu untuk memenuhi ambisi politik atau ekonomi 3
mereka. Cukup dengan cara menyebar sejumlah isu demagog –kebencian kepada orang
yang beridentitas lain (asing). Dengan cara demikian, massa deprivatif dan berpandangan
prejudice itu akan mudah diubah menjadi the anger people –massa yang marah dan
anarkis yang bisa membumi hanguskan berbagai aset publik –aset pemerintah, pendidikan,
rumah yatim, aset keagamaan dan juga aset perorangan dalam waktu sekejap (Lebih jauh
lihat Haryatmo tentang agama dan penyeragaman identitas, 2004:242-243 dan tentang
demagogy hal. 110-111).
b. Melebarnya struktur deprivasi
Peta konflik yang berkait dengan perebutan eksploitasi ekonomi di Indonesia juga
masih terjadi. Konflik diwarnai dengan ketegangan antara buruh dan majikan, petani
dengan pengelola perkebunan, di beberapa daerah seperti Blitar, Lumajang, dan Madiun.
Demikian juga di Bojonegoro antara mereka yang merasa diuntungkan dengan eksploitasi
minyak Blok Cepu dengan mereka merasa tidak diuntungkan. Di Pasuruan masih
menyimpan sejumlah ketegangan untuk memperebutkan batas lahan eksploitasi
penangkapan ikan.
Hampir semua konflik bermotive perebutan ruang ekonomi –persaingan
memperebutkan jabatan, lahan, sumberdaya, buruh, pasar dan profit. Adalah Christine
Alder (1999) yang meneliti korelasi antara kriminalitas dengan ketimpangan ekonomi. P
Penelitian Currie menunjukkan bahwa kriminalitas ada hubungannya dg
ketimpangan ekonomi. Currie mencatat begini, “....it has exacerbated the social
disintegration of the cities, and in the process it has produced another generation of
increasingly damaged and alienated young people. In short, it has accelerated a humanecological disaster of almost unprecedented proportions. Our cities are in a terrible mess;
and it is no longer possible to hide that fact, or to blame it credibly on the leniency of our
justice system or on the demoralizing largesse of an overactive government.” Currie
mencatat disintegrasi sosial di perkotaan terus berkembang dan dalam proses itu telah
menghasilkan satu generasi muda semakin rusak dan terasing. Transformasi kehidupan di
perkotaan seperti itu telah mempercepat bencana ekologis manusia dalam kapasitas dan
proporsi yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya. Kota-kota kita berada dalam
kekacauan yang mengerikan, dan itu tidak mungkin lagi untuk menyembunyikan fakta
bahwa, atau menyalahkan hal itu sepenuhnya kepada ringannya sistem peradilan kita atau
pada demoralisasi pemerintah yang overacting (Currie, 1985: hal 7-8).
Mereka yang relative miskin lebih berpotensi kriminal dibanding miskin absolut
(Lihat Belknap, 1989, dalam Stan Stojkovic, David B. Kalinich, John Klofasm, hal. 51).
Semakin jauh jarak ekonomi semakin tinggi kriminalitas, apalagi jika disertai dengan
perbedaan ras. Deprivasi relative lebih berpeluang melakukan kekerasan daripada
deprivasi absolut. Dengan demikian redistribusi pendapatan berkorelasi dengan
munculnya konflik dengan kekerasan.
Perkembangan sistem ekonomi kapitalis belakangan semakin menambah tekanan
masyarakat miskin. Mereka yang selama ini hanya mengalami deprivasi relative lalu
berubah menjadi deprivasi progresif, terutama di kalangan petani marginal, pedagang
kecil, buruh dan nelayan. Mereka dipaksa dan dengan susah payah mencoba beradaptasi
terhadap persebaran gaya hidup dan model ekonomi kapitalistik yang sudah memasuki
tataran lanjut. Tentu saja mereka dengan susah payah melakukan adaptasi, dan yang
terjadi kemudian adalah kegagalan demi kegagalan. Mereka ini lalu menjadi kelompok
yang dengan mudah melakukan tindak kekerasan.  Kekerasan adalah penggunaan 4
kekuatan secara tidak sah atau tanpa kewenangan untuk mempengaruhi keputusan yang
bertolak belakang dg keinginan atau kemauan orang lain.
Kelompok deprivasi, terutama deprivasi progresif akan mudah dimobilisasi elit
untuk melakukan perlawanan dan bahkan kekerasan menghadapi politik lawan. Biasanya
elit dan pemimpin politik memulai dengan memanipulasi perbedaan dan kondisi
psikologis mereka yang rentan untuk melakukan kekerasan. Mereka membangun identitas
yang menjadi penanda sekaligus pembeda. Elit membentuk berbagai simbol, identitas,
penanda seperti bahasa, pakaian, warna, dan lambang-lambang lainnya. Elit politik
mereproduksi istilah seperti cara salam, membuka dan menutup pidato. Perbedaan
identitas itu lalu digunakan untuk membedakan kelompoknya dengan kelompok lain.
Pembentukan identitas seperti itu sebenarnya sesuatu yang biasa, terutama dalam
dunia bisnis. Identitas yang unik, khas, dan tidak ada bandingannya, diperlukan dalam
upaya menarik perhatian kepada customer. Namun, pembentukan identitas satu kelompok
masyarakat dengan kelompok yang lain sebenarnya juga tidak menjadi masalah, kalau
perbedaan itu dihadapi dengan sikap matang dan dewasa. Justru di tengah perbedaan dan
keanekaragaman itu kehidupan menjadi semakin menarik dan menggugah inspirasi untuk
berbuat lebih kreatif. Namun, perbedaan identitas akan menjadi masalah ketika disikapi
dengan cara kekanak-kanakan. Jika masyarakat bersikap tidak dewasa menghadapi
perbedaan, maka perbedaan akan dianggap sebagai ancaman.
Perbedaan yang acapkali sebenarnya tidak distingtif ini direproduksi lalu
dieksploitasi untuk menciptakan kebencian laten. Perbedaan yang tidak signifikan bisa
diubah menjadi triger untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lain. Dengan
demikian elit sebenarnya yang acapkali memobilisasi perbedaan itu untuk meraih
dukungan dalam rangka mencari dan mempertahankan kekuasaan (Lebih jauh baca
Ohmae, 2002: 14-15).  
III. PENUTUP
a. Kesimpulan
Masyarakat dihadapkan dengan pluralisme budaya. Namun sayangnya, perbedaan
itu masih menjadi beban. Masyarakat Indonesia masih belum bisa menjadikan konflik
sebagai kekuatan. Hal itu terjadi terutama terutama karena menyebarnya hasrat elit dan
pemimpin politik untuk mempertahankan kekuasaan. Hasrat itu sering tanpa disertai
komitmen membangun kebaikan bersama. Para pemimpin dan elit politik justru suka
membangun identitas sebagai penanda sekaligus pembeda, seraya menumbuhkan
kebencian terhadap kelompok yang memiliki identitas lain. Oleh karena itu perbedaan
kemudian diartikan sebagai ancaman dan rasa tidak aman bagi yang lain.
 Bagi pemegang identitas kultural dan ideologis mayoritas atau yang memperoleh
back up elit dominan, mereka dipenuhi dengan ambisi mempertahankan posisinya. Untuk
itu tidak segan-segan bertindak diskriminatif. Mereka bahkan acapkali memilih cara-cara
kekerasan atau setidak-tidaknya prosedur non-konvensional, seperti dengan cara
mengerahkan massa dalam menyelesaikan masalah. Cara-cara politis, hukum, dan
prosedur yang disepakati dikesampingkan.
 Masyarakat Indonesia masih menghadapi ancaman konflik disertai kekerasan.
Pasalnya, elit politik di Indonesia belum berhasil memperbaiki sumber-sumber konflik dan
kekerasan, terutama konflik dan kekerasan yang bersumber dari struktur sosial dan
ekonomi. Struktur yang ada justru memperdalam deprivasi sosial. Masyarakat yang
semula hanya mengalami deprivasi relatif, justru berubah mengidap deprivasi progresif.  5
Masyarakat yang mengalami deprivasi dipandang oleh elit politik sebagai ancaman
dan penyebab timbulnya rasa tidak aman. Mereka mencurigai masyarakat sewaktu-waktu
akan menjarah dan membakar kekayaan atau aset yang mereka miliki. Sebaliknya,
masyarakat yang mengalami deprivasi juga memandang elit sebagai penyebab timbulnya
rasa tidak aman. Masyarakat beranggapan elit lebih berpihak kepada yang kuat. Petani
yang ringkih dan lemah, merasa tidak terlindungi ketika menghadapi kelangkaan pupuk
dan harga yang rendah. Oleh karena itu begitu muncul pemicu sedikit saja masyarakat
yang ringkih dan lemah itu akan manfaatkannya  dengan cara menjarah, merusak,
membakar dan melakukan berbagai bentuk anarki lainnya.
Tegasnya, konflik di Indonesia akan bisa dijadikan sebagai sejarah masa lalu jika
masyarakat dapat dihindarkan dari deprivasi sosial. Dengan demikian perbaikan struktur
sosial, ekonomi dan politik merupakan prasyarat untuk menghindarkan diri dari konflik
dan kekerasan. Dengan menghapus struktur deprivative akan mengubah pluralisme
kultural maupun ideologis sebagai kekayaan. Persoalnnya sekarang tergantung pada sikap
dan komitmen elit, karena sesungguhnya ’agama’, ’ideologi,’ preferensi dan perilaku
massa tergantung pada komitmen elit.
b. Saran
1) Kepada masyarakat diharapkan mau belajar membiasakan diri menghadapi
pluralisme budaya.
2) Kepada mereka yang berada di lapisan elite, terutama elite yang berkuasa,
disarankan agar tidak hanya sebatas memanuhi hasrat mempertahankan kekuasaan,
tetapi hendaknya juga disertai dengan upaya membangun komitmen membangun
kebaikan bersama.
3) Para pemimpin dan elit politik dipersilahkan saja untuk membangun identitas
sebagai penanda sekaligus pembeda, namun jangan identitas itu kemudian
dijadikan sebagai alat menumbuhkan kebencian terhadap kelompok yang memiliki
identitas lain.
4) Kepada mereka yang menjadi bagian dari pemegang identitas kultural dan
ideologis mayoritas atau yang memperoleh back up elit dominan, disarankan untuk
belajar menghindari tindakan diskriminatif apalagi menggunakan cara-cara
kekerasan atau setidak-tidaknya prosedur non-konvensional, seperti dengan cara
mengerahkan massa dalam menyelesaikan masalah.
5) Disarankan kepada semua pihak untuk menjunjung penyelesaian hukum, dan
prosedur yang disepakati setiap kali menghadapi konflik dan menyelesaikan
masalah.
6) Disarankan kepada elit politik di Indonesia agar bersungguh-sungguh memperbaiki
sumber-sumber konflik dan kekerasan, terutama konflik dan kekerasan yang
bersumber dari struktur sosial dan ekonomi dengan melakukan perbaikan struktur
sosial, ekonomi dan politik sehingga tidak terjadi struktur deprivative.
7) Kepada elite berkuasa hendaknya disadari persoalnnya sekarang tergantung pada
sikap dan komitmen elit, karena sesungguhnya ’agama’, ’ideologi,’ preferensi dan
perilaku massa tergantung pada komitmen elit membangun kebersamaan. 6
Pustaka Bacaan
Currie,  Elliott
Confronting Crime: Looking Toward The Twenty-First Century, New York:
Pantheon.(1985), http://courses.missouristate.edu/KarlKunkel/SOC540/currie.pdf
Hewstone, Miles And Ed Cairns,
Social Psychology And Intergroup Conflict, http://studikonflik.blogspot.com/,  A p r i l
0 7 ,  2 0 0 6
Ohmae, Kenichi
The End of the Nation State: The Rise ofRegional Economies (London: Harper Collins,
1996 ).
--------,
The Borderless World: Power and Strategy in the Global Marketplace, 2002
Stan Stojkovic, David B. Kalinich, John Klofas
Criminal Justice Organizations: Administration and Management, Cengage Publishers,
2012

Catat Ulasan